10 Tahun Tidur di Kuburan Demi Menebus Rasa Bersalah


Seorang pria lanjut usia (lansia) di Kulonprogo, DIY telah tinggal dan menetap di tengah area pemakaman umum selama 10 tahun terakhir. Waluyo (68) nama pria itu, mengaku menjalani aksi ini karena ingin menebus rasa bersalah terhadap mendiang orang tuanya.


Sekilas tak ada yang aneh di area pemakaman umum Dusun Karang Tengah Kidul, Kalurahan Margosari, Kecamatan Pengasih, Kulonprogo. 

Dari luar nampak ratusan nisan berjejer rapi dengan aneka ornamen yang menghiasinya. Terdapat pula aneka pohon yang biasa tumbuh di area pemakaman, seperti Pohon Kamboja, Puring, hingga Kantil.

Namun jika kita masuk ke tengah area makam, bakal menemukan sebuah bangunan bercat hijau yang di dalamnya terdapat sejumlah nisan. Bangunan yang biasa disebut cungkup itu menjadi tempat Waluyo tinggal selama satu dasawarsa terakhir. 

Waluyo tengah bersantai di atas karpet merah lusuh yang terbentang di pelataran cungkup. Karpet itu menjadi alas tidur lelaki kelahiran 1957 tersebut. 

"Ya di sinilah saya tidur mas, di dalam (menunjuk sisi dalam bangunan Cungkup) jadi tempat penyimpanan baju, kalau urusan mandi cuci kakus nunut (menumpang) di sumur sebelah makam," kata Waluyo. 

Waluyo sudah tinggal di situ sejak 2011 silam. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, pria bertubuh tambun ini bekerja serabutan. Paling sering jadi kuli bangunan. Pantang baginya meminta uang secara cuma-cuma. 

"Alhamdulillah rejeki itu selalu ada mas, yang penting ada usaha dulu," ujarnya. 

Masa kecil Waluyo dihabiskan di Karang Tengah Kidul. Beranjak dewasa, ia memutuskan merantau ke Lampung. Aksinya itu dilakukan pada tahun 1976 atau dua tahun setelah ayahnya meninggal dunia. 

Di tanah rantau itu, Waluyo memulai hidup baru. Ia bekerja, mencari nafkah, untuk menghidupi istri dan enam anaknya. Hal itu ia jalani selama puluhan tahun. Selama itu pula ia jarang sekali pulang ke kampung halamannya. Hingga suatu hari muncul rasa rindu dan bersalah di benak Waluyo. 

"Saat itu saya jadi kepikiran orang tua, kebetulan kan saya ini anak tunggal, saat akhirnya merantau tentu orang tua tinggal sendiri, makam bapak juga jarang dirawat, di situ saya merasa bersalah, puluhan tahun tidak pulang," ucapnya. 

Dari perasaan itu, Waluyo memantapkan tekad untuk kembali ke tanah kelahirannya. Sekitar pertengahan 2011 ia akhirnya pulang, tetapi tidak ke bekas rumahnya dulu, melainkan ke makam ayah dan leluhurnya di Karang Tengah Kidul. 

Saat itu kata Waluyo, kondisi makam sangat memperihatinkan. Di sekelilingnya banyak ditumbuhi tanaman liar. Singkatnya makam tak terurus. 

Dari sinilah Waluyo lantas berikrar, bakal mengurus makam tersebut hingga terlihat layak. Sebelum masa itu tiba, ia berjanji tidak akan pulang ke Lampung. 

Sebelum memutuskan tinggal di pemakaman itu, ia melaksanakan puasa selama 40 hari 40 malam di cungkup yang kini menjadi hunian sementara. Puasa ini dilakukan untuk menguatkan tekadnya tinggal di situ. 

“Karena itu bisa terlaksana, saya lanjutkan tinggal di makam ini,” ungkapnya. 

Waluyo mengatakan, tinggal di makam sebagai jalan untuknya berbakti kepada orang tua. Ia menyebut, bisa dengan mudah mendoakan di dekat makam ayahnya. 

Di sisi lain ia merasa ada hutang budi ke orang tua, dan rasa bersalah karena tidak mengurus ayahnya selama puluhan tahun.

Waluyo sendiri tak memedulikan anggapan musyrik apabila berdoa di makam. Ia hanya ingin minta maaf atas kesalahan orang tua dan membuat makam Dusun Karang Tengah Kidul menjadi bersih tanpa bantuan siapapun.

Selama 10 tahun tinggal di makam, Waluyo hanya sekali bertemu dengan keluarganya yang tinggal di Lampung. Ia memang sengaja tidak menemui keluarganya karena langkah ini baginya adalah perjuangan untuk menebus kesalahan. 

Menurut dia, keluarga sudah tahu dan paham keinginan dirinya untuk berbakti ke almarhum ayahnya. Ia mengatakan tak akan selamanya tinggal di pemakaman itu. 

"Dulu cuma ketemu sekali, tapi habis itu saya minta jangan ke sini lagi, dan tidak ada komunikasi apapun baik lewat telepon atau surat, nah nanti saya bakal pulang, setelah tugas saya di sini selesai," ujarnya. 

Menghabiskan waktu selama 10 tahun di area permakaman tidak membuat sosok Waluyo dicap sebagai orang aneh. Warga sekitar bahkan mengapresiasi aksi Waluyo. 

Tak sedikit warga yang akhirnya ikut membantu Waluyo merawat kompleks permakaman.

"Selama ini tidak ada masalah, warga malah seneng kok karena pak Waluyo ini secara tidak langsung ikut menjaga dan merawat pemakaman tersebut," kata Dukuh Karang Tengah Kidul, Puryono. 

Puryono mengatakan warga mengenal, Waluyo sebagai sosok yang ramah dan pandai bersosialisasi. Ia juga tak segan membantu warga di sekitar pemakaman jika memang dibutuhkan. 

"Banyak yang sering minta bantuan Pak Waluyo, seperti bangun rumah, bantu-bantu kegiatan hajatan, dan sebagainya," ucapnya.
LihatTutupKomentar