Sampel Kulit Diduga 'Patient Zero' Jadi Tanda COVID-19 Bukan dari Wuhan?


Tim peneliti yang dipimpin Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kini tengah mempelajari kemungkinan asal usul COVID-19 dari kasus seorang wanita Italia berusia 25 tahun.

Ia mengunjungi rumah sakit Milan dengan keluhan gejala sakit tenggorokan dan lesi kulit di November 2019, sebulan sebelum COVID-19 akhirnya teridentifikasi di Wuhan, China.

Penelitian yang dimuat pada Januari 2021, menemukan sampel kulit yang 'tertinggal' dari wanita tersebut, dan diuji lebih dari enam bulan kemudian. 

Hasilnya, para ilmuwan menilai wanita ini bisa menjadi orang pertama yang menyebarkan virus Corona jauh sebelum klaster pertama COVID-19 meledak di pasar Wuhan, China, pada Desember 2019.

Namun, yang menjadi masalah ialah para peneliti tidak ada yang mengetahui identitas wanita tersebut.

Sementara, The Wall Street Journal melaporkan rumah sakit wanita dirawat yaitu Policlinico Milan dan Universitas Milan tidak memiliki rincian identitasnya. 

Raffaele Gianotti, dokter kulit yang merawatnya, meninggal pada Maret, hanya beberapa hari sebelum muncul laporan yang dipimpin WHO.

Para peneliti menilai kasus-kasus terkait COVID-19 di luar Wuhan bisa membantu memperkuat awal mula penyebaran virus Corona.

Untuk melakukan ini, tim juga meminta sampel darah di beberapa negara untuk diuji, mulai dari akhir 2019, untuk mengetahui adanya antibodi virus corona.

Perlu diketahui, kasus wanita Italia yang diduga menjadi patient zero COVID-19 memiliki antibodi virus Corona. Beberapa bulan sebelumnya, pada 10 November 2019, sampel kulit wanita itu diambil oleh Dr Gianotti.

Temuan sampel kulit

Dikutip dari Daily Mail, ketika pandemi COVID-19 melanda Italia pada awal 2020, Dr Gianotti melihat kembali melalui sampel kulit yang diarsipkan untuk mencari jejak COVID-19.

Dia melakukan dua tes pada sampel kulit wanita, yang keduanya ditemukan protein spike dan 'cangkang' protein tetapi sampelnya terlalu terdegradasi untuk melakukan tes selanjutnya yang dinilai penting.

Tes ini akan memungkinkan Dr Gianotti untuk mengurutkan virus secara genetik, memberikan konfirmasi yang lebih pasti wanita itu memang terinfeksi COVID-19 dan memungkinkan para peneliti untuk membandingkannya dengan kasus-kasus dari China.

"Saya kecewa hanya karena satu hal. Bahwa kami tidak dapat memastikannya dengan teknik ketiga yang lain," Massimo Barberis, rekan penulis penelitian Dr Gianotti, mengatakan kepada Wall Street Journal.

Dr. Barberis menunjukkan darah wanita yang diambil pada pertengahan 2020 dinyatakan positif memiliki antibodi, COVID-19 telah melanda Italia utara di saat yang sama, menciptakan kemungkinan bahwa dia mungkin telah terkena COVID-19 tanpa gejala beberapa saat setelah November.

Sementara identitas wanita itu tetap menjadi misteri, Dr Barberis mengatakan, antusiasme untuk mencari tahu bagaimana pandemi dimulai kini memudar di antara para peneliti ketika kasus COVID-19 juga menurun di Eropa.

"Orang-orang tidak tertarik," katanya kepada Wall Street Journal.

LihatTutupKomentar